Edumuslim.org - Masa iddah yaitu masa dimana perempuan menunggu setelah terjadi perceraian dengan suaminya dengan ketentuan waktu yang telah ditentukan oleh syariat. Pertanyaan: Apakah menikahi perempuan dalam masa iddah, pernikahannya sah?
Jawab:
Dalam kajian Ushulfiqih, sah atau sahih itu bukan hanya terpenuhinya semua rukun dan syarat tapi juga tidak terdapat penghalang atau mani’. Sebaliknya, jika tidak terpenuhi rukun, syarat dan adanya mani’, maka tidak sah dalam istilah para ahli ushulfiqih, disebut fasid atau batal. Contoh ketiadaan rukun misalnya Rakaat tidak sah jika tanpa ruku, karena ruku merupakan rukun rakaat. Contoh tidak terpenuhi syarat, misalnya jual beli mesti saling ridha kedua belah pihak, jika tidak terpenuhi maka jula belinya tidak sah. Sedangkan adanya mani’ contohnya orang yang sedang haid atau nifas terhalang untuk melaksanakan salat, jika melakukan salat, maka salatnya tidak sah bahkan haram dan berdosa.
Masa iddah yaitu masa dimana perempuan menunggu setelah terjadi perceraian dengan suaminya dengan ketentuan waktu yang telah ditentukan oleh syariat. Menjalankan iddah sifatnya taabudi, semata berdasarkan dalil, bukan berdasarkan illat. Adapun bersihnya rahim dan memberi kesempatan untuk ruju merupakan hikmah dari syariat menunggu masa iddah. Rincian hitungan masa iddah dalam al-Quran dalilnya sebagai berikut :
Iddah perempuan yang ditalak suaminya adalah Tiga kali bersih
وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلَاثَةَ قُرُوءٍ
Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru’ [al-Baqarah: 228]
Iddah Wanita monopause dan wanita yang tidak haid adalah tiga bulan
{وَاللَّائِي يَئِسْنَ مِنَ الْمَحِيضِ مِنْ نِسَائِكُمْ إِنِ ارْتَبْتُمْ فَعِدَّتُهُنَّ ثَلَاثَةُ أَشْهُرٍ وَاللَّائِي لَمْ يَحِضْنَ وَأُولَاتُ الْأَحْمَالِ أَجَلُهُنَّ أَنْ يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مِنْ أَمْرِهِ يُسْرًا} [الطلاق: 4]
Masa iddah bagi perempuan-perempuan yang sudah tidak dapat haidh lagi (menopause), jika kalian ragu menghitung masa iddahnya, maka hitunglah masa iddahnya tiga bulan. Begitu pula bagi perempuan-perempuan yang memang tidak berhaidh. Masa iddah bagi perempuan-perempuan yang hamil adalah setelah melahirkan anaknya. Siapa saja yang taat kepada Allah dan bertauhid, Allah pasti memudahkan semua urusannya. (At-Thalaq: 4)
Iddah Wanita hamil adalah sampai melahirkan
وَأُولَاتُ الْأَحْمَالِ أَجَلُهُنَّ أَنْ يَضَعْنَ حَمْلَهُنّ
Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya.
Iddah Wanita yang ditinggal mati suaminya adalah empat bulan sepuluh hari
وَالَّذِينَ يُتَوَفَّوْنَ مِنْكُمْ وَيَذَرُونَ أَزْوَاجًا يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا فَإِذَا بَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا فَعَلْنَ فِي أَنْفُسِهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ
Wahai kaum mukmin, jika salah seorang di antara kalian mati dan meninggalkan istri, maka hendaklah istrinya beriddah selama empat bulan sepuluh hari. Apabila para janda telah selesai masa 'iddahnya, maka tidak berdosa bagi para wali janda itu membiarkan para janda itu berdandan dengan cara yang baik. Allah Maha Mengetahui keinginan para janda yang berdandan itu. (Al-Baqarah: 234)
Iddah perempuan yang khulu’ adalah satu kali haidh
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، «أَنَّ امْرَأَةَ ثَابِتِ بْنِ قَيْسٍ اخْتَلَعَتْ مِنْهُ، فَجَعَلَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عِدَّتَهَا حَيْضَةً»
Dari Ibn Abbas berkata “ Sesungguhnya istri Tsabit bin Qais telah meminta khulu’ darinya, maka nabi Sallalllahu alaihi wa sallam menentukan iddah (istri Tsabit bin Qais) satu kali haid (H.R. Abu Dawud, 2/269)
Diantara larangan untuk yang masih dalam masa iddah adalah menerima pinangan bahkan menikah dalilnya sebagai berikut :
Pertama, larangan mengkhitbah secara jelas dan terang-terangan ketika perempuan dalam masa iddah
وَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا عَرَّضْتُمْ بِهِ مِنْ خِطْبَةِ النِّسَاءِ أَوْ أَكْنَنْتُمْ فِي أَنْفُسِكُمْ عَلِمَ اللَّهُ أَنَّكُمْ سَتَذْكُرُونَهُنَّ وَلَكِنْ لَا تُوَاعِدُوهُنَّ سِرًّا إِلَّا أَنْ تَقُولُوا قَوْلًا مَعْرُوفًا
Wahai laki-laki muslim, tidak berdosa bagi kalian menyampaikan lamaran dengan sindiran kepada janda kematian atau kalian merahasiakan keinginan melamar dalam hati kalian. Wahai laki-laki muslim, Allah mengetahui bahwa kalian selalu mengingat janda itu. Karena itu, janganlah kalian membuat janji untuk menikah dengan mereka secara rahasia sebelum masa 'ddahnya habis. Kalian boleh menyampaikan keinginan kalian kepada janda itu dengan kata sindiran yang baik. Janganlah kalian dengan sengaja membuat janji untuk menikah sebelum masa 'iddahnya habis. Ketahuilah bahwa Allah mengetahui keinginan yang ada dalam hati kalian. Karena itu hendaklah kalian berhati-hati dalam membuat janji untuk menikahi janda kematian. Ketahuilah bahwa Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyabar dalam menyikapi kesalahan kalian. (al-Baqarah: 235)
Ayat diatas secara mafhum mukhalafah melarang mengkhitbah secara terang-terangan, secara fahwal khitab apalagi dengan menikahi. Disisi yang lain, pihak perempuanpun terlarang menerima khitbah, apalagi menerima pernikahan.
Kedua, menghalangi hak mantan suaminya untuk kembali dalam masa iddah
وَبُعُولَتُهُنَّ أَحَقُّ بِرَدِّهِنَّ فِي ذَلِكَ إِنْ أَرَادُوا إِصْلَاحًا
Dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa iddah itu, jika mereka (para suami) menghendaki ishlah. (Al-Baqarah: 228)
Ketiga, larangan secara sarih menikah pada masa iddah
وَلَا تَعْزِمُوا عُقْدَةَ النِّكَاحِ حَتَّى يَبْلُغَ الْكِتَابُ أَجَلَهُ
Dan janganlah kalian dengan sengaja membuat janji untuk menikah sebelum masa 'iddahnya habis. (Al -Baqarah: 235)
Ayat diatas merupakan larangan sarih menggunakan bentuk fiil nahyi sebagai uslub larangan yang menunjukan keharaman.
Posisi masa iddah dihubungkan dengan pernikahan adalah sebagai ma’ni’ yaitu adanya masa iddah berkonsekuensi hukum tidak ada atau haramnya pernikahan.
Karena itu, kesimpulannya hukum menikahi perempuan dalam keadaan masa iddah adalah haram dan status pernikahannya tidak sah, jika terlanjur, maka wajib dipisahkan. Wallahu a'lam.
Posting Komentar